top of page

"Kamu, Pohon, dan Bintang Jatuh"

  • 13 Jun 2021
  • 4 menit membaca

Diperbarui: 31 Jul 2021

Oleh: KNCLL


Mereka berdua sedang asyik menikmati saat-saat terakhir di sebuah rumah pohon.


“Kau tidak lapar Alexa?” tanya Sandy yang sedang mendengarkan musik.


Alexa hanya menggeleng pelan yang berarti tidak. “Sebelum pergi, hendaknya Kau makan dulu Alexa, siapa tau makanan di pesawat tidak cocok dengan lidahmu. Itu pun kalau di pesawat ada makanan,” tawar Sandy khawatir.


2 jam lagi matahari terbit, dan Alexa akan pergi meningalkan kota dengan pesawat pada pukul 7 setempat. Sandy mendongakkan wajahnya ke atas menghitung rIbuan bintang yang bahkan Ia sendiri tak tau untuk apa bintang-bintang itu berhamburan di langit. Alexa yang saat itu berada di atas, hanya diam mengamati Sandy sambil melihat sekelilingnya yang diterangi lampu jalan juga lampu rumah yang tersorot dari perkampungan.


“Sandy, Kau ingat saat dulu Kita kecil? Kita sering bermain di sini. Dulu banyak anak kecil bermain ayunan dan jungkat-jungkit di sini,” Alexa sejenak terdiam lantas melihat (lagi) ke bawah, melihat Sandy yang masih melamun menghitung bintang.


Rumah pohon yang ditempati Alexa sekarang memang sengaja dibangun di sebelah taman bermain, sehingga saat siang, mereka bisa melihat sIapa saja yang sedang menghabiskan waktu di sana. Bisa jadi mereka akan ikut bermain, dan kalaupun tidak, Mereka berdua akan singgah di rumah pohon berjam-jam lamanya.


Muka Alexa mulai muram dan Ia berucap lirih. “Mungkin Kau sudah lupa, dulu Kau pernah mendorongku dari sini, tapi sayangnya Aku lebih lihai darimu San,” Alexa pun tersenyum kecut. “Aku lebih dulu memegang tanganmu dan Kau hampir terjatuh. Seandainya Kau benar–benar jatuh, mungkin Aku sudah kehilangan satu-satunya orang yang benar-benar menemaniku hingga kini,” lanjutnya.


Mata Alexa nampak mulai berkaca-kaca. Ia mengangkat kepalanya, mengedip-ngedipkan mata, sembari setabah mungkin menahan tetes air matanya agar tidak tumpah.

“Tanpa air mata Alexa! Kita sudah berjanji saat hari ini tiba, tidak boleh ada air mata yang tumpah,” tegur Sandy pada Alexa.

Sandy kemudian mebenarkan posisinya, membuat dirinya lebih nyaman, lalu merebahkan tubuhnya di atas kaki-kaki pohon. Di sana, terdapat pula rerumputan rimbun yang kelewat nyaman jika digunakan untuk merebah sembari menatap langit serta menikmati hembus angin taman bermain.


Jam kota berdenting 3 kali, “Ding…ding…ding,” yang berarti satu setengah jam lagi matahari akan terbit, pertanda waktu Sandy dan Alexa semakin menipis untuk tetap bersama.


“Bajumu sudah Kau bereskan?” tanya Sandy setelah merebahkan tubuhnya di rerumputan.

“Belum, Aku tak sempat membereskannya.”


“Tak sempat? Atau memang masih ragu untuk pergi?” tanya Sandy.


“Sebetulnya Aku ragu Sandy, ragu untuk meningalkanmu sendiri...,” Alexa mengaku.


“Ini tempatku Alexa. Aku bahkan bisa bertahan jutaan tahun di bawah rumah pohon ini. Dan kalaupun lapar, Aku tinggal pulang ke rumah yang berjarak hanya lima langkah dari sini.” Ucap Sandy sambil menatap penuh kejelasan, mencoba meyakinkan Alexa bahwa Ia baik-baik saja.


Yap, betul Sandy! Rumah pohon ini memang dIbuat untuk Kita, itu pun juga berdekatan dengan taman bermain,” ujar Alexa sembari sedikit menyunggingkan senyumnya.


Sebetulnya memang rumah pohon itu dIbuat untuk mereka. Dekat dengan rumah pun juga dengan taman bermain. Saat malam seperti ini, mereka bisa berlama-lama tiduran, sambil melihat dan menghitung bintang di angkasa.


“Saat-saat seperti ini pasti datang Alexa. Kau pindah dengan Ibumu,” Sandy berucap seakan-akan sudah lama Ia memprediksikan hari itu.

Alexa kemudian turun dari rumah pohon, lalu ikut merebahkan badannya di hamparan rerumputan, sama persis seperti apa yang Sandy lakukan.


“Lihat Sandy! ada bintang jatuh,” sembari telunjuk Alexa mengarah ke langit malam, mengikuti arah bintang jatuh.


“Ingatkah Kau Sandy akan sebuah kisah ketika kita masih kecil?” tanya Alexa.


“Hah, cerita apa?” ujar Sandy penasaran.


“Kisah tentang bintang jatuh. Jadi, bila Kau simpulkan jari dan berdo’a, maka permintaanmu itu akan terkabul. Ayo kita coba Sandy!” Sandy pun mengangguk pelan tanda mengiyakan. Mereka berdua kini merebahkan diri, menyimpulkan jari sembari memejamkan mata lantas mulai memanjat do’a.


Hari itu, dua remaja itu riuh bersama segudang harapan dan impian, yang kini sudah mulai terwujud, hanya yang sederhana.


Alexa mulai berdiri dan menyenggol Sandy “Sepertinya sudah cukup San, Aku akan kembali merapikan barang-barangku di rumah, jemputanku dah hampir tiba,” ucap Alexa yang mulai berjalan meninggalkan Sandy.


“Hei, apa yang Kau harapkan dari sebuah bintang jatuh?” terdengar Sandy berucap dengan nada serak akibat hawa dingin di sekitarnya.


“Kurasa Kau tidak akan mau tau San,” Alexa tersenyum mengejek di pinggir taman.


Sandy kemudian menyandarkan diri ke batang pohon lalu bertanya, “Yah, kupikir juga begitu, Kau tau apa yang kuharapkan?”


Taman itu pun lenggang sejenak meninggalkan suara angin yang berkesiur.


“Aku harap ketika Kau pulang lagi ke sini suatu hari nanti, pohon dan rumah itu masih berdiri kokoh,” teriak Sandy melihat Alexa yang mulai menjauh. Mata Alexa pun terlihat berkaca-kaca mendengar hal itu. Ia lantas membalikkan badan dan segera beranjak dari taman.


Setelah menghabiskan beberapa langkah, di sudut taman yang lain, dengan nada congkak, Alexa pun mengatakan sesuatu, “San, meskipun umur kita hanya berbeda 5 menit, bisakah sekali saja Kau menghormatiku sebagai saudaramu yang lebih tua dengan memanggilku Kakak?” kepala Alexa mendongak lalu berbalik memberikan senyuman kepada adiknya.


Sembari kembali berjalan dengan mata yang mulai berkaca-kaca, sengaja Alexa tetap memejamkan matanya. Ia terus berusaha agar terlihat tegar.


Sandy pun membalas senyuman Alexa dan berpesan, “Tolong jaga Ibu Kak! jangan sampai Ibu sakit dan jangan sampai Kakak juga sakit karena Ayah pasti akan khawatir dengan keadaan Kalian di sana. Oh iya, sekarang di Turki sedang musim dingin, jadi jangan lupa selalu pakai jaket atau sweater. Jika Kau tidak punya, Kau bisa ambil di lemariku,” ujar Sandy semakin serak menahan tangis.


“Dan...Dan... jangan lupa untuk mengabariku atau Ayah seminggu sekali, dan jangan terlalu banyak belajar Kak. Kau sudah cukup pintar untuk mempertahankan beasiswamu di sana, jadi sekali-kali gunakan waktumu untuk tidur atau berkeliling Turki. Jangan lupa ajak Ibu juga ya… Sudah terlalu lama Dia berkerja di sana, jadi ajaklah sekali-kali,” ucap Sandy sambil menggigit bibirnya karena menahan isak tangis. Dia tak mau saudaranya sedih saat perpisahan mereka.


“Itu pesan yang cukup panjang Dik dan Aku akan berusaha betul mengingatnya. Di sini, Aku titipkan Ayah padamu, mungkin 2 atau 3 tahun lagi. Ayah sudah sehat seperti sedia kala. Saat waktu itu tiba, kalian pasti akan menyusul Aku dan Ibu ke Turki. Aku pamit Dik. Sudah kutepati janji pagi ini tanpa air mata dan pemutar musikmu itu. Benda itu sudah usang dan akan Aku belikan lagi jika Aku sudah sampai di sana,” Alexa pun memalingkan badan dan benar-benar beranjak pergi dari taman itu meninggalkan Sandy sendiri.


Kini Sandy sendiri, memilih tidak menemani Alexa pergi karena itu akan membuatnya semakin sedih. Ia dengan lega, kembali merebahkan tubuhnya di hamparan rerumputan taman memandangi pemutar musik usangnya.


”Ya, ini memang sudah usang. Aku akan menunggu Kak Alexa membelikan yang baru untukku,” harap Sandy pada Kakaknya Alexa.

Postingan Terakhir

Lihat Semua

Komentáře


Subscribe Form

Thanks for submitting!

Jl. Andansari Gg. Bandung 3 No. 8 Kode Pos 62216 Kecamatan Lamongan, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur

  • Twitter
  • Facebook
  • Instagram

©2020 by Kacamata Penasaran. Proudly created with Wix.com

bottom of page