"See How Much I Love You"
- Wasiqatus Syarifah
- 13 Feb 2021
- 13 menit membaca
Oleh: Wasiqatus Syarifah
Memungkinkan sebuah takdir hadir dan besemayam. Berputar-putar membuatku semakin gila dibuatnya, terus berputar hingga ku tak bisa pungkiri takdir telah membawaku pergi jauh. Jauh sekali ... untuk menemui senjaku ...
***
(Karmila Amania)
Aku berjalan di koridor menuju ruang guru. Tak sengaja aku melihat dari
kejauhan, seorang laki-laki duduk di taman dengan kanvasnya yang kosong
sedang membelakangiku.
Saat di ruang guru, “Assalamualaikum, Mrs. Alena memanggil saya?” Di balik daun pintu.
“ Waalaikumsalam, iya. Kemari Nia!“ Sambil lalu menarikkan kursi untukku.
“Ada apa ya Mrs?” tanyaku penasaran.
“Tidak ada apa-apa, ini bantuin saya ngoreksi hasil ulangan kelas XII-IPA putra. Ini karena saya lagi kurang enak badan,” dengan wajahnya yang pucat pasi.
“Baik Mrs.”
“Saya tinggal keluar dulu ya!” Ucapnya sambil berjalan keluar.
Selang beberapa menit, tiba-tiba ... “Mrs, ini dokumennya yang ...” Suara berat itu muncul dari balik daun pintu. Ia hanya mematung dan tak melanjutkan kalimatnya. Terlihat dia hanya kaget sembari tertegun karena ternyata yang berada di sana bukan Mrs Alena, tapi aku.
“Mrs Alena lagi keluar,” jawabku. Ia pun mengangguk tanda mengerti lantas memberi salam.
“Tadi itu siapa ya?” Pikirku singkat lantas kulanjutkan kembali tugasku tanpa menghiraukan apa yang telah terjadi.
Tiba-tiba aku menjatuhkan kertas. Ya, kertas yang berisi ...
***
“An, laper nih,” sambil memegang perut setibanya diriku di kelas seusai menyelesaikan tugas dari Mrs. Alena.
“Iya Nia, aku juga laper,” jawab Ana yang ternyata senasib denganku.
“Ke kantin yuk!” Ajak Ana.
“Emmmm, tapi kita mau beli apa?”
“Beli spageti Buk... ya beli yang bisa di makan lah!”
“Ya iya lah An, masak mau beli batu. Gimana kalau kita beli roti panggang Ibu Asih?” Tawarku pada Ana yang segera disusul dengan anggukan setuju. Ana langsung menarik tanganku tanpa peduli bagaimana jalanku yang terseret, mungkin saking laparnya dia hingga tak sadar bahwa aku tersandung.
“Aw,,,aw,,,aw,,, pelan-pelan dong!” Teriakku pada Ana.
“Eh maaf, duh, saking lapernya jadi aku nggak sadar kalo narik tangan kamu sampek segitunya, maaf ya ..!” Aku mengiyakan permintaan maafnya sambil membenahi posisi berdiriku.
Bruk!!
Aku tersungkur
“Aw!!” Pekikku sekuatnya. Rasa sakit sangat terasa di lutut dan lenganku. “Maaf maaf aku nggak sengaja,” katanya terhenti saat melihat yang ia tubruk adalah aku. Dia, suara berat itu namun berkarisma. Aku masih tersungkur dan ia menatapku, menatapku dengan lekat, 5 menit lamanya.
“Kamu nggak papa kan Nia?” Ana membangunkanku sambil lalu membersihkan rokku yang kotor.
“Aku nggak papa, hanya lututku agak sakit,” Aku dan Ana langsung beranjak dari tempat itu tanpa menghiraukan permintaan maafnya.
“Roby!!” Teriak seseorang dari kejauhan. Suara berat itu menyahutnya. “Ada apa?”
Aku dan Nia pun membiarkan mereka berlalu.
***
[Di kamar]
Ponselku berdering
“1 chat 083555xxx644 WA”
Mr. X : Assalamualaikum
Aku : Waalaikumsalam
Mr. X : Dengan saudari karmila amania?
Aku : Ya, ini siapa ya?
Mr. X : Kamu tidak perlu tahu siapa aku!
Aku : Loh kok gitu! Kamu siapa?
Mr. X : Kamu suka bunga krisan kan?


Mr. X : See how much I love you (SHMILY)
“Bunga krisannya cantik. Ah sial!! Siapa sih nih orang?” Kataku pada diriku sendiri sambil langsung off dari Whatsapp.
Keesokan harinya, kucoba tanya pada Ana siapa pemilik nomor misterius itu. Namun gelengan kepala Ana yang kudapat. Aku tetap penasaran siapa pemilik nomor itu. Kutanya seantoro sekolah namun hasilnya tetap nihil. Aku pun menyerah, hingga kusebut orang itu sebagai Mr. X.
Sempat terbuai dengan kata see how much I love you namun kutepis itu semua yang hanya membuatku flashback pada kenanaganku bersama Roni mantanku. Menurutku, Mr.X hanya khayalan yang takkan menjadi nyata seperti Roni. Setiap hari aku mendapatkan cokelat, Bunga Krisan, sajak-sajak cinta Kahlil Gibran dan sepertinya ia fasih dalam bersajak dan bersyair. Akhirnya aku mencoba memberanikan diri untuk menelfonnya, awalnya ragu! namun kuteguhkan hati .
Tut....tut....tut... Aku menunggu tapi nihil, ia tak menjawabnya. Aku kesal! Sudah kucoba beberapa kali namun tetap saja. Lantas kubanting gawaiku, tak peduli bagaimana nasibnya.
“Apa sih maunya dia, bisanya ngirim kata-kata tak berarti tanpa penjelasan yang pasti, bunga lah, cokelat lah, udah basi gayanya. Ini juga pakek ngirim gambar segala,” sambil kubuang gambar itu. Tetiba aku teringat sesuatu, “Ya, kertas.” Kertas yang tanpa sengaja aku jatuhkan di ruang guru. Gambarnya sama persis dengan gambar yang kubuang tadi. Aku pun memungut kembali gambar yang sudah kubuang dengan bedebah tadi.
Finally, aku tak pernah meresponnya lagi walaupun setiap hari ia bersajak beribu bahasa.
Hingga akhirnya hari kelulusan pun tiba.
Hari itu,
“Sampai sekarang kamu belum tahu siapa si Mr. X itu?” Tanya Ana padaku setelah ia datang dari mengerumuni papan informasi.
“Ya,” jawabanku hanya ketus dengan nada datar.
“Kamu bener gak kepo? Siapa sebenarnya dia?”
“Emangnya kamu tahu siapa dia?”
Ana hanya tersenyum,
“Kok senyum?”
“Aku tahu, tapi ... rahasia dong!!” Ana pun langsung berlari menjahuiku. Ku coba mengejar Ana namun nihil. Malah aku menabrak Roby,
“Aduh, maaf aku nggak sengaja,” berkata sambil berlalu.
“Tuh dia orangnya,” teriak Ana dari kejauhan. Sedangkan Roby membenahi posisi berdirinya.
“Eh, ngaco kamu An!” Teriak aku pada Ana.
“Udah, move on aja dari Roni, kan udah ada Rob..” Ana tak melanjutkan perkatannya, lantas tertawa sambil lari begitu saja dari kejaranku.
***
Setelah lulus SMA, aku melanjutkan kuliah di Universitas Padjadjaran. Tak disangka, ternyata Roby juga satu kampus denganku. Fakultas Farmasi adalah tempatku melanjutkan studi, sedangkan Roby ada di Fakultas Teknik. Aku terpisah dengan Ana yang memilih jurusan Kedokteran di Universitas Airlangga, sesuatu yang selalu ia impikan.
Setiap ada mata kuliah, aku selalu berpapasan dengan Roby. Ia hanya menatapku. Terkadang aku juga mendapat ledekan dari temannya.
“Eh kok Cuma mandangin sih? Sapa dong!” Ulah teman Roby yang sambil menyikut lengannya. “Atau aku yang ngambil nih,” kata temannya yang lain. Roby pun hanya menoleh dan mengerutkan alis, lalu pergi.
Pada satu kesempatan, dosen menyuruhku dan teman-teman untuk melakukan praktikum di laboratorium. Ternyata mikroskop yang hendak kami gunakan memiliki masalah listrik.
“Minta bantuan Roby aja Nia,” suruh temanku.
“Kenapa harus Roby?”
“Dia kan anak teknik, lagi pula kami disini nggak ada yang punya kenalan anak teknik, kamu saja tuh.”
“Apalagi penjaga lab lagi cuti sekarang,” sahut teman yang lain.
“Emmmm gimana ya? Aku ...,” belum kuteruskan, malah dipotong.
“Ayolah, dari pada tugas kita nggak selesai.”
“Ya deh,” sahutku dengan nada datar.
Lantas, Kucoba cari Roby di kelasnya tapi tidak ada. Aku pun menemukan Roby di balkon dekat kelasku.
“Roby” panggilku. Ia tampak menoleh
“Kamu nggak sibuk kan?” Tanpa sahutan.
“Boleh aku minta bantuan kamu?” Ia tetap diam.
“Ini orang apa batu sih? Gue ajak ngomong malah diam,” gumamku dalam hati.
“Mikroskop di lab bemasalah nih. Kamu bisa benerin ngak?”
“Penjaga lab ke mana?” Akhirnya dia menyahut.
“Lagi cuti, ini aku hanya kenal kamu di Fakultas Teknik. Temanku yang lain pada nggak ada yang punya kenalan anak teknik,” ucapku tanpa bernafas.
“Cari aja yang lain!”
“Loh, aku mau cari siapa dong kalo bukan kamu. Aku kan kenalnya cuma kamu di fakultas teknik!!”
“Ke Faris aja sana! Bilang disuruh aku.”
“Faris itu siapa? Aku ngak kenal.”
“Tuh orangnya,” jawabnya singkat sambil menunjuk pada seseorang yang datang dari ruang dosen 2 lokal setelah kelasku.
“Ok lah kalo kamu ngak mau. Aku minta bantuin sama Kak Faris aja,” jawabku kesal karena permintaanku ditolak. “Aku yang nyerocos memberi penjelasan biar dia mau, malah ditolak. Kesel banget pokoknya! Cuek amat. Huuuuuft, pokoknya dia nyebelin!” Aku membual.
Akupun langsung menghampiri kak Faris, “Kak Faris ya?” aku memanggilnya dengan sebutan kakak karena dia seperti seniorku.
“Iya, ada yang bisa saya bantu?” Jawabnya dengan sopan. Roby mengamati apa yang sedang kami bicarakan.
“Emmm, mikroskop di lab kami lagi bermasalah. Kakak bisa bantuin benerin?”
“Bisa, kapan yang mau di benerin?”
“Sekarang aja Kak, soalnya aku sama teman-teman dapat tugas dari dosen dan kami hanya diberi waktu dua hari untuk menyelesaikannya.”
“Oh, ya sudah sekarang aja!”
“Ayo kak!” Aku melirik sinis pada Roby sambil mendengus.
Ia tak merespon apapun dan sesegera mungkin memalingkan wajahnya.
***
Beberapa bulan kemudian
Malam rabu,
“Duh kenapa nih laptopku?” Kucoba nyalain betulang kali, tapi tetep nggak bisa. Yang ada malah hanya garis-garis putih yang muncul dari layar.
“Gimana nih! Besok kan presentasi. Harus pakek apa kalau nggak pakek laptop ini. Filenya juga tidak ada salinannya pula!”
“Ah, telpon Kak Faris aja ya kan. Iya nih, bener aku harus telpon Kak Faris.”
“Halo, ada apa Nia?” Jawab Kak Faris.
“Kak, aku minta tolong bisa?”
“Apa?”
“Laptopku nggak bisa dinyalain nih.”
“Oh itu, Kakak nggak bisa kalo laptop. Kakak bisanya benerin alat-alat lab. Coba deh minta bantuan sama Roby.”
“HAH,” jawabku terkejut ketika nama Roby terucap dari mulut Kak Faris
“Loh kenapa?”
“Nggak ada teman yang lain nggak sih kak, selain Roby?”
“Kalo setahu kakak sih yang bisa benerin laptop itu cuman Roby, soalnya laptopku sempat rusak juga dan di benerin sama dia sih. Entar kakak kirimin nomor telponnya.”
“Yaudah kak, makasih infonya,” sembari langsung kututup sambungan telepon.
“Duh, kenapa nggak bisa sih. Masak aku harus minta tolong sama Roby? Nggak deh, nanti pasti ditolak lagi. Tapi besok gimana?“
1 pesan WA dari Kak Faris,
“Ini nomornya Roby, 08388xxx341, maaf Kakak gak bisa bantu.”
Dengan berat hati, aku mencoba menghubungi Roby, dan ternyata “Nomor yang anda tuju sedang sibuk cobalah beberapa saat lagi.”
“Ih, ni orang nyebelin banget sih. Coba lagi ah!”
Ku coba telepon lagi nomor itu. Tut….tut….tu
“Siapa?” Jawab Roby.
“Kenapa kok ditolak tadi?”
“Kamu siapa?” Jawabnya ketus
“Nia” jawabku ketus juga dan sedikit membentak
“Perlu apa?”
“Bantuin benerin laptop.”
“Nggak, cari yang lain. Ke Faris aja!”
“Aku tadi minta tolong sama kak Faris. Tapi Dia gak bisa. Dia malah nyuruh aku minta bantuan ke kamu.”
“Emangnya dia kenapa?”
“Ya gak tahu lah!”
“Anterin laptop kamu besok ke kelas!”
“Kok besok? Besok aku presentasi nih. Kan laptopnya yang mau dipakek malah rusak, gimana dong?” Suaraku mulai parau
“Kok parau gitu? Udah jangan nangis anterin laptop kamu ke kedai kopi dekat lampu merah. Jangan lama-lama. 15 menit!”
“Pinter nyerocos juga kamu!”
“Huft! Dibantuin untung!” dengan suara agak meninggi
“Ma ...”
“Tut ... tut ... tut ... Sambungan terputus.”
Cepat cepat aku memesan ojek untuk mengantarku ke lokasi. Perjalanan yang aku tempuh sekitar 13 menit dan aku sudah sampai di warung kopi dekat lampu merah. Roby dengan mengenakan kaos berbalut jacket dan syal di lehernya telah menungguku di sana. Aku memarkirkan sepeda motorku.”Wooow keren,” tiba-tiba saja bibirku terlontar kata itu.
“Lama banget,” katanya saat aku mulai duduk.
“13 menit kok.”
“Mana laptopnya?”
Aku pun mengeluarkan laptop dari ransel biruku.
“Penyuka biru?” tanyanya.
“Banget! Ransel, laptop dan ...”
“Emangnya aku nanya?” Belum sempat aku meneruskan dia memotongnya. Kesel banget pokoknya.
“Loh tadi ... Ah udahlah, lama-lama kamu ngeselin.”
“Yaudah aku pulang aja. Benerin sendiri tuh laptop!” Dia berdiri dan mencoba beranjak pergi.
“Eh, jangan! Benerin dulu nih! Ayolah please, gak bisa diajak bercanda deh,” sebenarnya bukan bercanda sih tapi beneran.
Ia duduk kembali sambil tersenyum.”Ternyata tampan juga nih anak kalo lagi senyum. Ada lesung di pipi sebelah kanan. Ah, apa-apaan aku ini. Dia kan SUJU (Super Jutek). Juteknya minta ampun dan gak ketulungan,” batinku berdesis. Dia langsung mengambil peralatan yang dibutuhkan dari dalam tasnya.
Ada yang mengganjal dari isi tasnya. “Gambar apa itu?” Aku bertanya sambil menunjuk ke arah tasnya dan hal itu hanya ia jawab dengan lirikan tajam
“Nih orang! Bener-bener ya!” Batinku.
Ia mulai membenahi laptopku, mengambil ini, itu yang aku tak mengerti perihal apa yang ia kerjakan. Hingga aku tertidur saking lamanya ia membenahi.
“Cekrek!” Bunyi itu terdengar.
Aku lantas terbangun dari tidurku.
“Suara apa itu?” Sambil aku kucek mataku.
“Eh, emmm, bukan apa-apa. Itu cuma suara jangkrik.”
“Masa sih? Di kedai sebagus ini ada jangkrik!”
“Eh, itu kucing kamu ya?” Setengah sadar aku melihat foto yang ada di handphone-nya Roby.
“Em, bukan kucing, masa kucing secantik ini?” Sambil memperlihatkan handphone-nya padaku.
“Kayak fotoku deh?”
“Mana?” Mencoba mengelak.
“Sini aku lihat!”
“Nggak boleh, kamu kan baru bangun tidur! Nih laptopnya dah selesai. Kamu malah keenakan tidur, mana pulas banget lagi,” mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Ya maaf, abis kamunya lama banget.”
“Dibantuin juga untung!”
“Ya deh maaf, terima kasih juga ya,” sembari kubungkukkan setengah badanku.
“Ehem, kamu ... kamu pulang naik apa?”
“Naik ojek.”
“Jam segini masih ada ojek?”
“Gak tahu.”
“Aku anterin pake motor.”
“Ke mana?”
“Ke jurang ... ya kerumahmu lah!”
“Em gimana ya ... tapi awas ya kalo kamu ada niat jahat.“
“Negative thinking banget, kalo nggak mau yaudah.”
“Eeh iya iya mau.”
Kami kemudian pergi menuju parkiran untuk mengambil motor Roby.
“Eitsss, tunggu aku! Akunya malah ditinggal.” Sesegera mungkin kumasukkan laptopku kedalam ransel, dan setengah berlari mengejar Roby.
Kami berboncengan, di jalan kami hanya terdiam dan membisu. Sesekali aku mengeluh kedinginan.
“Haccih” tiba-tiba aku bersin, hingga beberapa kali.
“Kamu gak tahan dingin ya?”
“Ya,” sambil mengusap hidungku dengan selembar tisu yang tak sengaja ku bawa dari kedai.
Malam itu Bandung sangat dingin, dingin sekali. Langit juga terlihat mendung, dan seketika hujan turun. Kami berhenti di halte bus untuk menghindari terpaan hujan.
“Kita berhenti dulu, hujannya deras banget. Lagian kamu juga gak tahan dingin,” katanya datar sambil membuka jacket yang ia kenakan.
“Ia gak papa,” sambil mengelus-elus lenganku.
Tiba-tiba Roby mengulurkan jaket dan syalnya padaku. “Buat apa?” Kataku keheranan sambil merapikan rambutku yang agak basah.
“Ya ... ya di pakek lah!” Roby agak gelagap.
Melihatku yang kebingunan, ia mengenakannya langsung di pundakku dan melilitkan syalnya di leher. Aku terpaku melihat apa yang dilakukan Roby.
“Aku menyayangimu Nia,” katanya tiba-tiba. Aku pun tercengang.
“Maaf aku lancang,” katanya lagi, kemudian menunduk.
Aku tetap tidak merespon. Dan hujan mulai reda
“Ayo pulang,” ajak Roby padaku. Aku hanya mengangguk tanda menyetujui.
***
Esoknya, aku bertemu Kak Faris di depan kelas. Sepertinya ia memang sengaja menungguku. Kulihat Ia melambaikan tangan dan aku pun membalasnya.
“Gimana laptopnya?” Tanyanya spontan.
“Udah diperbaiki kok sama Roby”
“Kapan yang diperbaiki?”
“Semalam Kak.”
“Tadi malam?” Ia kaget setelah mendengar pengakuanku.
“Ya tadi malam, kenapa?”
“Oh nggak papa, nanya aja kok. Oh ya tadi malam maaf ya Kakak nggak bisa bantu kamu.”
“Gak papa kok Kak. Secara tidak langsung Kakak juga bantu Nia kok.”
“Sebagai ungkapan permintaan maaf, Kakak mau ajak Nia makan malam, gimana?”
“Em ... boleh,” jawabku singkat.
“Nanti aku jemput ya.”
“Loh, memangnya kakak tahu alamat kost ku?”
“Tahu dong! Masak sama orang yang kita say ... eh, teman yang akrab sama kita tidak tahu sama tempat tinggalnya. Em, udah dulu ya, Kakak punya jam kuliah, dah ...”
Aku tak faham dengan apa yang Ia maksud. “Sudahlah,” kataku dalam hati.
Malamnya, aku sudah siap dengan gaun pink yang kukenakan. Aku keluar dari kossan dan ternyata kak Faris sudah menungu.
“Sudah lama Kak?” Ia membelakangiku sewaktu kumenyapanya. Ia membalikkan badan dan ternyata ia adalah Roby
“Cantik,” satu kata yang ia ucapkan.
“Apa?” Tanyaku karena tidak tahu.
“Tidak apa-apa”
“Mana Kak Roby? Aduh aku salah panggil,” gumamku sambil menepuk jidat.
“Ini aku.”
“Eh maaf, bukan tapi Kak Faris.”
“Sepeda motornya mogok, aku disuruh jemput kamu. Dia sudah menunggu di restoran.”
“Baiklah.”
Sesampainya di sana Kak Faris telah memesan tempat buat kita. Ya kita. Aku, Roby, dan Kak Faris.
Kami berbincang-bincang, tapi tidak dengan Roby, entah apa yang terjadi pada dirinya. Sesaat berikutnya, dia lantas pergi ke kamar mandi.
“Nia,“ ucap Kak Faris.
“Ya,” aku menjawab sambil menyantap hidangan yang telah dipesan.
“Aku ... aku ... aku menyukaimu,” Kak Faris mengeluarkan Bunga Krisan merah, bunga kesukaanku. Sama persis dengan foto bunga yang diunggah Mr. X, apakah dia adalah Mr.X?
Terkaget, ketika aku menoleh, entah sejak kapan Roby ada di sana. Kemudian Ia pergi tanpa berpamitan dengan kami.
“Roby ... Roby ... mau ke mana?” Panggilku padanya namun ia tak membalas panggilanku. Aku pun mengejar Roby. Kutinggalkan Kak Faris tanpa segan.
Esoknya, kucari Roby di kampus namun tidak ada.
“Ke mana dia? Mungkin dia berfikir akan membalas cinta Kak Faris?” desisku dalam hati bercampur cemas dan merasa telah meyia-nyiakannya.
Waktu itu. Hujan, jaket dan syal yang menjadi saksinya. “Aku juga,” itu jawabanku namun kau tak mendengarnya, dan kau sekarang malah menghilang.
***
[4 Tahun Kemudian]
Masih dengan cintaku, di sini aku bertahan untukmu, demi kamu Roby. Entah sampai kapan aku bertahan.
Saat wisuda diresmikan, aku mendapat surat dari Ana, yang berisi tentang pernyataan bahwa Mr.X itu adalah Roby. Hatiku langsung tersentak. Tak menyangka bahwa pria bersuara berat itu adalah yang kusebut Mr.X.
Aku mulai bertanya, “Mengapa dia tidak menjelaskan padaku? Mengapa harus berdiam diri saja? Hanya sajak dan syairkah yang mampu menjelaskan semua itu? Itu tidak cukup bagiku Roby. Tanpa sadar aku menangis. Kenapa? Karena aku juga mencintaimu Roby. Syal, jaket dan hujan kembali teringat dalam benakku. Tapi apa daya, aku mendapat kabar 2 hari sebelum wisuda, bahwa Mama akan di tunangkan dengan orang pilihannya.
“Nia, kamu pulang ya Nduk dari Bandung? Masak kamu mau tunangan tapi ndak ada orangnya,” pinta Mama waktu ia meneleponku.
“Aduh Ma, sekarang bukan jamannya Siti Nur Baya, tapi jamannya Siti Nur Haliza kali. Aku males pulang ...!” Kataku pada Mama.
“Pokoknya kamu harus pulang titik!” Sambungan telepon pun terputus. Belum sempat aku memberi jawaban, telepon telah ditutup oleh Mama. “Kayak siapa sih orang yang mau di tunangin sama aku? Kok sampek segitunya mama,” desisku pada diri sendiri.
Kukirimkan pesan pada Mama lewat WA
“Mamaku sayang, ok Nia akan pulang 2 hari lagi, tapi Nia masih ada pentas seni di kampus. Nia diminta menampilkan tari balet.”
“Kamu kan anak Farmasi? Kok diminta gituan segala, bukannya ngeracik obat?” Balas Mama.
“Aku kan bisa balet Ma.”
“Ok lah asal kamu pulang, ini karena Mama sudah kangen kamu Nduk.”
“Ya Ma.”
Kuakhiri chat-ku bersama Mama, lantas berbaring meratapi nasib cintaku, “Lelah aku lelah,” batinku.
Aku tak berani menolak Mama. Terlebih lagi semenjak Papa meninggal, Mama menjadi tulang punggung keluarga. Aku takut akan melukai hatinya bila menolak.
“Apakah aku harus menyalahkan takdir?” Kembali membatin.
Ataukah aku harus mengalah pada takdir? Entahlah, semua akan dijawab oleh Sang Maha Kuasa dengan segala skenario yang telah direncanakan-Nya.
***
[2 hari kemudian]
“Assalamu’alaikum, Ma aku pulang!”
“Kakak,” sapa ramah adikku yang mungil. Raka namanya yang beberapa hari lagi akan berumur 4 tahun. Kukecup adekku yang imut itu.
“Duh, anak Mama sudah dewasa rupanya. Sana gih istirahat dulu, nanti Mama panggil kalau makanannya udah siap. Bentar lagi ada tamu.” Aku pun langsung masuk ke dalam kamarku dengan koper besar yang aku bawa dari Bandung.
Dari kamar aku mendengar keributan dari ruang tamu. Karena lelah, aku memilih berbaring saja di dalam kamar.
“Nia ayo keluar dulu, ada yang pengen ketemu kamu!” Panggil Mama dari luar kamar.
“Aduh Ma, maaf ya! Nia capek banget nih. Kan mama tahu sendiri Nia baru nyampek.”
“Ayolah, bentar aja kok,” mama mulai merajuk.
“Ya deh aku keluar. Mama duluan gih sana!”
“Ok, cepetan ya.”
Aku menyiapkan diri, dan keluar dari kamar menuju ruang tamu. Dan “Roby?” Aku terkejut ketika tamu yang di maksud Mama adalah Roby. Ya, itu benar dia, Si Mr.X Roby yang saat itu bersama seseorang laki-laki dan perempuan paruh baya.
“Nia,” Roby hanya tersenyum ketika melihatku terkejut.
“Loh, kalian saling kenal?” Mama bertanya seakan memastikan.
“Ya Ma, kami saling kenal. Dia teman aku waktu SMA,” jelasku.
“Oh, bagus itu, jadi gimana nih, selain kita punya kesepakatan, sepertinya mereka sama-sama sudah menaruh hati,” ungkap Mama pada perempuan paruh baya yang ternyata Mamanya Roby.
“Maksud Mama apa?” Aku memotong pembicaraan mama, dan Mama hanya meresponnya dengan senyuman.
“Aku ingin meminangmu Nia. Aku tulus, bukan paksaan. Dan ini di luar rencana kedua orang tua kita yang memang merencanakan perjodohan ini. Apakah kamu mau menerima pinanganku?” Roby langsung menjawab keherananku.
Aku hanya terpaku, dan menjawab sekenanya, “Aku akan menjawabnya besok di Pantai Parang Teritis jam 5 sore,” sembari langsung unjuk diri menuju kamar meninggalkan mereka.
“Duh, kenapa tidak langsung aku terima aja ya, kan aku juga, ah bodohnya. Kenapa aku sampai bilang akan memberi jawaban di Pantai Parang Teritis. Aku mau jawab apa ya?” Gumamku pada diri sendiri
***
[Pantai parang teritis]
Jam menunjukkan pukul lima sore. Kupandangi pantai yang suasana senjanya yang tak pernah berubah sejak aku kecil hingga kini. Tak ada satu orang pun di sana, termasuk orang yang kutunggu, Roby. Desir angin pantai membuat rambutku beterbangan. Dua puluh lima menit berlalu, Roby masih tak kunjung datang. Aku letih dan merasa dipermainkan, pastinya kecewa. Kuputuskan untuk pulang. Dan di saat aku membalikkan badan, dari ujung pantai nampak seseorang sedang melukis ke arahku. Ya, dia Roby, dan dia langsung beranjak pergi saat dia tahu bahwa aku sudah mengetahui bahwa sedari tadi dia ada di sana.
“Roby! Berhenti!” Teriakku keras.
Aku terkejut, ketika melihat lukisan yang dia gambar adalah saat aku menatap sunsat dengan rambut yang beterbangan. Dan di sampingnya, gambar yang sama persis dengan gambar yang ada di ruang guru yang sempat aku jatuhkan. Terlebih lagi, tulisan See How Much I Love You (SHMILY). Mr.X yang ternyata Roby telah lenyap dari pandanganku senja itu.
Tiba-tiba
“Penjelasan apa yang kau inginkan?” Tanya seseorang padaku dari belakang.
“Lebih baik aku pergi,” aku pun beranjak pergi.
“Setelah sekian lama aku mengawasi dirimu dari kejauhan. Apakah perjuanganku akan berakhir sia-sia?” Dan langkahku terhenti.
“Perjuangan apa yang kau tanyakan? Aku rasa kau tak pernah berjuang selama ini,” jawabku dengan suara meninggi.
“Selama 4 Tahun lebih aku menyimpan dan memperjuangkannya, apakah itu semua tidak berarti?”
“Ya!”
“Kenapa?”
“Itu karena kau SUJU,” sembari kubalikkan badan.
“SUJU?”
“Ya, kamu SUJU, Super Jutek. Pernahkah kamu menjelaskan maksud dari bunga krisan, coklat, syair Kahlil Gibran itu? Juga sikap dingin kamu itu!”
“Jawabannya hanya satu Nia,” suaranya melandai.
“Apa?”
“Karena cintaku tidak dapat dijelaskan, tapi hanya dapat dirasakan.”
“Dan karena cinta yang tidak dapat dijelaskan aku bertahan,” lanjutku.
“See How Much I Love You Nia,” sembari mendekapku.
“See How Much I Love You Roby,” mebalas pelukannya.
Roby berlutut sambil memberikan Bunga Krisan merah padaku.
“Thanks Mr.x.”
Dan Roby hanya tersenyum.
THE END
Jangan lupa untuk sematkan komentar serta bubuhkan cinta terbaik kalian di postingan ini ya